![]() |
Photo by M. Faies |
Dalam rangka HUT Kota Magelang ke – 1107, Pemerintah Kota Magelang menyelenggarakan gelaran kirab budaya (14/04/2013) dengan puncak acara adalah prosesi grebek getuk. Dua buah gunung getuk disiapkan mewakili simbol laki – laki yang diterjemahkan sebagai pakunya tanah jawa dan simbol perempuan yang diterjemahkan sebagai kota sejuta bunga. Selain gunungan getuk, disiapkan pula 17 buah gunungan sayur mayur dan buah – buahan yang menggambarkan 17 kelurahan yang ada di Kota Magelang. Walikota Magelang, Sigit Widyonindito menjelaskan, “Kalau paku itu kuat, maka kotanya akan kokoh. Sedangkan bunga digambarkan sebagai keindahan. Grebek merupakan wujud syukur karena warga Magelang terus meningkat kesejahteraannya dengan limpahan rejeki melalui berbagai usaha yang dikembangkan melalui berbagai sektor”.
Acara diawali dengan berbagai pertunjukan tari kreasi baru, diantaranya adalah Tari Undhuk oleh Sanggar Tari Arum dan Tari Kolosal Magelang Berhias yang dibawakan oleh Bengkel Seni Universitas Tidar Magelang dengan diiringi gending Magelang Kota Sejuta Bunga. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan upacara Hari Jadi Kota Magelang Ke – 1107. Uniknya, seluruh rangkaian ucapaca disampaikan dengan bahasa Jawa sebagai refleksi masyarakat untuk kembali melestarikan dan mencintai budaya lokal. Dalam pidatonya, Walikota Magelang mencanangkan program Magelang Berhias. “Tari Kolosal Magelang Berhias menandai tahun ini sebagai tahun berhias untuk menuju Kota Magelang sebagai Kota Sejuta Bunga pada tahun 2015. Berhias tidak hanya dalam hal fisik, tetapi berhias di segala hal utnuk mewujudkan Magelang sebagai kota yang maju”, tutur Sigit Widyonindito.
Walikota menambahkan, “Tahapan pencanangan Kota Magelang sebagai Kota Sejuta Bunga memiliki filosofi yakni seluruh masyarakat Kota Magelang bisa menikmati berjuta – juta kesejahteraan”. Usai upacara, gunungan getuk diarak ke tengah alun – alun dengan dikawal rombongan kesenian topeng ireng. Pagar pembatas yang semula mengurung arena upacara mulai dibuka, ribuan warga masyarakat berhamburan masuk dan menyerang gunungan getuk untuk diperebutkan. Dalam sekejab, getuk berjumlah 1107 seberat 150 kilogram yang disusun menjadi dua buah gunugan ludes.
![]() |
Photo by M. Faies |
Rangkaian perayaan HUT Kota Magelang ke – 1107 diharapkan menjadi refleksi untuk mengingat kembali bagaimana kota ini berdiri dan berkembang. Dengan mengingat sejarah, muncul kesadaran masyarakat untuk mencintai kotanya. Menilik ke belakang, penetapan hari jadi Kota Magelang didasarkan pada prasasti POH, Gilikan, dan Mantyasihyang ditulis di atas lempengan tembaga pada jaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rake Wutukura Dyah Balitung, (898 – 910 M). pada prasasti itu disebutkan adanya Desa Mantyasih yang berarti beriman dalam cinta kasih dan Desa Glangglang. Desa Mantyasih kelak kini bernama Kampung Meteseh sedangkan Desa Glangglang kemudian berubah menjadi Magelang.
Hingga kini di kampung Meteseh masih terdapat sebuah lunping batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan. Berdasarkan Prasasti Mantyasih, tersebutlah angka 829 Caka bulan Caitra tanggal 11 Paro – Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Sanais Scara atau dengan kata lain hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907 yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Magelang. Dalam Prasasti ini desebutkan pula bahwa Desa Mantyasih oleh Sri Maharaja Rake Wutukura Dyah Balitung ditetapkan sebagai desa perdikan atau desa bebas pajak yang dipimpin oleh seorang pejabat patih. Dalam prasasti disebutkan pula adanya gunung Susundra dan Wukir Sumbing yang sekarang dikenal sebagai gunung Sindoro dan Sumbing.
Dalam perjalanannya, Magelang kemudian berkembang menjadi kota dan selanjutnya menjadi Ibukota Karisidenan Kedu dan pernah pula menjadi Ibukota Kabupaten Magelang. Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke 18, Magelang dijadikan sebagai pusat pemerintahan singkat kabupaten dan diangkatlah Mas Ngabehi Danukromo sebagai bupati pertama. Beliau yang pertama kali merintis infrastruktur Kota Magelang dengan membangun alun – alun, tempat tinggal bupati, dan masjid. Dalam perkembangannya, dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karisidenan Kedu pada tahun 1818.
Dengan ditaklukannya pemerintah Inggris oleh Belanda, kedudukan Magelang menjadi semakin kuat sebagai pusat lalu lintas perekonomian. Selain karena letaknya yang stratergis, udara yang sejuk, serta pemandangannya yang indah, Magelang akhirnya dijadikan Kota Militer. Untuk melengkapi sarana dan prasarana perkotaan, pada tahun 1918 dibangun menara air minum tepat di tengah pusat kota. *IC
0 komentar:
Posting Komentar